Kegiatan membaca, yang berujung pada siswa yang gemar membaca, merupakan sarana untuk mencapai tujuan tersebut. Maka selayaknya setiap fase kegiatan belajar-mengajar (KBM) di sekolah didominasi oleh kegiatan membaca (literasi).
Banyak penelitian menyebutkan bahwa kegiatan membaca berbanding lurus dengan kemampuan akademik seorang anak, terlebih jika dijalani dalam suasana menyenangkan. Banyak manfaat mengenai kegiatan membaca untuk kesenangan, di antaranya meningkatkan kemampuan membaca dan menulis, pemahaman teks dan tatabahasa, kaya perbendaharaan kata, sikap membaca yang positif, rasa percaya diri yang tinggi, senang membaca sepanjang hayat.
Jika ingin meningkatkan mutu pendidikan, di titik inilah (ruang kelas) semua harus dimulai. Baginya, integrasi literasi dalam KBM adalah keniscayaan. Tidak bisa tidak.
Konsep Literasi merupakan seperangkat kemampuan mengolah, menganalisa dan memahami informasi dari bahan bacaan. Literasi bukan tentang membaca dan menulis saja, melainkan dapat mencakup bidang lain, seperti ekonomi, matematika, sains, sosial, lingkungan, keuangan, bahkan moral (moral literacy).
Gerakan Literasi Nasional (GLN) resmi ditetapkan pada tanggal merah. Jumat pagi, 25 Maret 2016, Mendikbud Anies Baswedan menggelar rapat terbatas di Gedung Ki Hadjar Dewantara, Senayan, Jakarta. Sejumlah pejabat hadir. Tujuan pertemuan yaitu sinkronisasi program literasi yang telah dijalankan oleh unit-unit utama di lingkungan Kemendikbud.
Ditjen Dikdasmen melakukan sosialisasi dan menjalankan program dengan Gerakan Literasi Sekolah. Maka sekolah, bagaimanapun kondisinya, harus memberi waktu khusus kepada siswa untuk melakukan aktivitas membaca.
Ada waktu resmi, yang merupakan bagian dari kegiatan pembelajaran di sekolah, khusus untuk membaca. Alokasi 15 menit untuk membaca sebagaimana tertera dalam Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti, tidak perlu juga dimaknai sebagai durasi ideal untuk membaca.
Lima belas menit adalah waktu minimal untuk membaca. Dengan paradigma tersebut, sekolah bebas menambah durasi membaca siswa. Guru di jam pelajaran pertama, misalnya, bisa menambah durasi membaca siswa dengan “memakan” alokasi jam mengajarnya.
Kegiatan membaca secara reguler bertujuan untuk menanamkan kebiasaan membaca dalam diri siswa. Sehingga tidak relevan anggapan bahwa membaca cukup dilakukan sekian kali dalam seminggu asal jumlah waktu membacanya panjang. Lebih baik durasi membaca pendek namun sering dan berkala daripada durasi panjang tetapi jarang dilakukan.
Buku yang dibaca siswa ketika program 15 menit membaca berjalan adalah buku nonteks pelajaran (berupa buku referensi atau buku pengayaan), bukan buku pelajaran. Kenapa? Sebab siswa pasti membaca buku pelajaran sepanjang kegiatan belajar-mengajar di kelas. Harus ada waktu yang diberikan kepada mereka untuk membaca buku selain buku pelajaran.
Ada jawaban lain yang lebih pragmatis: buku pelajaran hanya sedikit sekali yang mampu menjawab persoalan dan kebutuhan hidup siswa. Banyak hal yang harus diketahui siswa yang ilmunya tidak diberikan di sekolah.
Seorang siswa yang ingin memaksimalkan potensi dirinya, misalnya, tidak bisa mendapatkan pengetahuan tentangnya dalam pelajaran IPA, IPS, apalagi matematika. Ia harus membaca buku tentang motivasi dan pengembangan diri.
Dalam rambu Gerakan Literasi Sekolah, seleksi buku dapat dilakukan oleh Tim Literasi Sekolah (TLS). Keanggotaan TLS berasal dari unsur guru, kepala sekolah, tenaga kependidikan (pustakawan, 97Gerakan Literasi Sekolahpengawas sekolah), dan peserta didik. Keanggotaan dapat diperluas dengan melibatkan Komite Sekolah di mana unsur orang tua, tokoh masyarakat, dan dunia usaha dunia industri tercakup di dalamnya.
Literasi boleh saja seperti fashion yang timbul-tenggelam di tengah dinamika masyarakat yang senantiasa berubah, tetapi gerakan literasi harus terus berdenyut dan dirasakan oleh semakin banyak orang. Ia merasuk dalam setiap pola pikir dan perilaku warga sekolah baik di dalam maupun di luar lingkungan satuan pendidikan.
Literasi Sekolah
Awalnya, pengertian literasi hanya berkaitan dengan keaksaraan atau bahasa yaitu membaca dan menulis. Dalam perkembangan waktu, pengertian literasi berkembang menjadi konsep fungsional yang dikaitkan dengan berbagai fungsi dan keterampilan hidup individu.Konsep Literasi merupakan seperangkat kemampuan mengolah, menganalisa dan memahami informasi dari bahan bacaan. Literasi bukan tentang membaca dan menulis saja, melainkan dapat mencakup bidang lain, seperti ekonomi, matematika, sains, sosial, lingkungan, keuangan, bahkan moral (moral literacy).
Gerakan Literasi Nasional (GLN) resmi ditetapkan pada tanggal merah. Jumat pagi, 25 Maret 2016, Mendikbud Anies Baswedan menggelar rapat terbatas di Gedung Ki Hadjar Dewantara, Senayan, Jakarta. Sejumlah pejabat hadir. Tujuan pertemuan yaitu sinkronisasi program literasi yang telah dijalankan oleh unit-unit utama di lingkungan Kemendikbud.
Ditjen Dikdasmen melakukan sosialisasi dan menjalankan program dengan Gerakan Literasi Sekolah. Maka sekolah, bagaimanapun kondisinya, harus memberi waktu khusus kepada siswa untuk melakukan aktivitas membaca.
Ada waktu resmi, yang merupakan bagian dari kegiatan pembelajaran di sekolah, khusus untuk membaca. Alokasi 15 menit untuk membaca sebagaimana tertera dalam Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti, tidak perlu juga dimaknai sebagai durasi ideal untuk membaca.
Lima belas menit adalah waktu minimal untuk membaca. Dengan paradigma tersebut, sekolah bebas menambah durasi membaca siswa. Guru di jam pelajaran pertama, misalnya, bisa menambah durasi membaca siswa dengan “memakan” alokasi jam mengajarnya.
Kegiatan membaca secara reguler bertujuan untuk menanamkan kebiasaan membaca dalam diri siswa. Sehingga tidak relevan anggapan bahwa membaca cukup dilakukan sekian kali dalam seminggu asal jumlah waktu membacanya panjang. Lebih baik durasi membaca pendek namun sering dan berkala daripada durasi panjang tetapi jarang dilakukan.
Buku yang dibaca siswa ketika program 15 menit membaca berjalan adalah buku nonteks pelajaran (berupa buku referensi atau buku pengayaan), bukan buku pelajaran. Kenapa? Sebab siswa pasti membaca buku pelajaran sepanjang kegiatan belajar-mengajar di kelas. Harus ada waktu yang diberikan kepada mereka untuk membaca buku selain buku pelajaran.
Ada jawaban lain yang lebih pragmatis: buku pelajaran hanya sedikit sekali yang mampu menjawab persoalan dan kebutuhan hidup siswa. Banyak hal yang harus diketahui siswa yang ilmunya tidak diberikan di sekolah.
Seorang siswa yang ingin memaksimalkan potensi dirinya, misalnya, tidak bisa mendapatkan pengetahuan tentangnya dalam pelajaran IPA, IPS, apalagi matematika. Ia harus membaca buku tentang motivasi dan pengembangan diri.
Dalam rambu Gerakan Literasi Sekolah, seleksi buku dapat dilakukan oleh Tim Literasi Sekolah (TLS). Keanggotaan TLS berasal dari unsur guru, kepala sekolah, tenaga kependidikan (pustakawan, 97Gerakan Literasi Sekolahpengawas sekolah), dan peserta didik. Keanggotaan dapat diperluas dengan melibatkan Komite Sekolah di mana unsur orang tua, tokoh masyarakat, dan dunia usaha dunia industri tercakup di dalamnya.
Buahnya pendidikan yaitu matangnya jiwa, yang akan dapat mewujudkan hidup dan penghidupan yang tertib dan suci dan manfaat bagi orang lain. (Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia)Sekolah, akhirnya, menjadi sentral aktivitas di antara tripusat pendidikan itu. Sebab masyarakat dan kebanyakan keluarga Indonesia masih menyerahkan pendidikan anak-anak kepada sekolah. Sekolah masih dianggap sebagai tempat efektif dalam membentuk nilai-nilai baik dalam diri anak. Dengan demikian, beragam aktivitas dan kebijakan di sekolah sedianya berimbas pada perubahan di lingkup keluarga dan masyarakat.
Literasi boleh saja seperti fashion yang timbul-tenggelam di tengah dinamika masyarakat yang senantiasa berubah, tetapi gerakan literasi harus terus berdenyut dan dirasakan oleh semakin banyak orang. Ia merasuk dalam setiap pola pikir dan perilaku warga sekolah baik di dalam maupun di luar lingkungan satuan pendidikan.
Literasi Sekolah Untuk Tujuan Pendidikan